Tuesday, December 31, 2013

Kehidupan adalah kenyataan, tanpa fiksi atau rekayasa, tidak berdrama dan tidak berskenario. Ini murni kenyataan yang penuh warna. Senang, sedih, haru, bahagia, menyebalkan, menjengkelkan, dan masih banyak rasa lain yang tidak dapat dirangkai kata. Kuliah kehidupan yang aku jalani sungguh menjadi materi kehidupan yang sangat berharga. Cerita awal dimulai dari keluarga sederhanaku yang bertempat tinggal dikampung, penuh kehangatan kekeluargaan. Aku dan adikku sangat menikmati masa-masa kami, masa kanak-kanak. Hingga akhirnya kenyataan yang harus kami terima dibalik keindahan masa pertumbuhan ceria kami.

“Mau kemana kalian pagi-pagi sudah berpakaian rapi seperti ini?” ucap lelaki paruh baya.
“ee kami maa u.. berangkat se..kolah ayah” ucapku dengan terbata.
“Tidak ada yang namanya sekolah, kalian menghabiskan uang saja. Lebih baik kalian kerja, cari uang yang banyak untuk makan.”
“tapi ayah… “
“Tidak ada tapi tapian kalian harus kerja. Mulai sekarang kalian tidak boleh sekolah lagi. Apa untungnya sekolah coba, Kalian disekolahkan tinggi ujung ujungnya juga akan jadi pengamen. Sekarang, ganti pakaian kalian dan langsung berangkat mengamen” bentak ayah sambil menatap ku dan adikku dengan murkanya.
“iiyaa ayah” ucapku lirih dan langsung beranjak untuk berganti pakaian.

Namaku Edo, inilah kisah hidupku yang terpaksa putus sekolah karena keegoisan ayahku yang hanya memetingkan uang. Hanya uang yang menurut beliau sebagai tujuan hidup . Aku terpaksa putus sekolah dikelas 5 SD, dan adikku Endang yang saat ini kelas 1 SD juga harus putus sekolah karena menuruti keinginan ayah. padahal pihak sekolah telah mendatangi ayah untuk tetap menyekolahkan aku dan adikku dengan memberikan keringanan biaya tapi ayah tetap keras kepala menolak.



“kak…” keluh adikku lirih setelah turun dari bus tempat mengamen tadi. Akupun menatapnya dengan gurat wajah cemas
“Endang, kamu baik-baik sajakan? Ya sudah, lebih baik kita istirahat dulu di halte itu”. Aku mengajaknya untuk duduk dikursi yang tersedia di halte bus, kami istirahat sejenak melepas lelah setelah seharian mengintari kota.
Kehidupanku memang keras, aku dan adiku setiap hari harus bekerja sedangkan ayah dan ibu hanya berdiam diri dirumah. Terkadang ada perasaan kesal terhadap kedua orang tuaku. Bagaimana tidak, setiap hari uang hasil mengamen selalu kami berikan kepada ayah dan ibu. jika aku dan adikku mengurangi uang hasil mengamen tersebut, ayah dan ibu pasti akan marah bahkan sampai main tangan.

…..

Tersenyum dan melihat lalu lalang anak sekolah yang pergi memakai seragam merah putih menjadi sarapan setiap pagi yang selalu aku nikmati. Ada perasaan iri yang menyelimuti hatiku. aku iri dengan mereka yang bisa menikmati indahnya bangku sekolah. aku juga iri dengan teman-teman yang sedang asyik bermain, mengasyikan diri dengan dunianya. Mereka tidak seperti ku yang setiap hari harus mentargetkan kerja, kerja dan kerja. Sempat terlintas dibenakku, “sampai kapankah kehidupanku akan seperti ini? Akankah ini berakhir? Apakah ini serupa menguras air laut yang tiada habisnya? Yang terus berlanjut hingga akhir hayat? Apakah kehidupanku memang ditakdirkan seperti ini?”.

Seringkali aku berkeluh kesah kepada Tuhan, ”Tuhan mengapa dunia ini kejam, kehidupan ku berbeda Tuhan, aku ingin seperti mereka.”

Hanya Tuhan tempatku mencurahkan keluh kesah hatiku. Walaupun tidak mendapat jawaban secara langsung tapi hatiku cukup lega, sedikit beban terlepas. Aku merenung, duduk sendiri di pinggir danau. Inilah saat ada waktu senggang, aku bisa memanfaatkan untuk beristirahat di sini, menyandarkan beban dipunggungku menangis meratapi kisah hidupku. “Aku tidak mungkin harus selalu seperti ini. ini kehidupan, aku harus menjalani. Mungkin apa yang menjadi keinginan ayah merupakan salah satu takdir Tuhan. Jika aku mengelak aku akan berdosa dan nanti Tuhan juga akan murka, lebih baik aku ikhlas menjalani peranku seperti ini, aku harus ikhlas memerankan skenario dari Tuhan. Tapi aku juga harus bisa bekerja keras untuk masa depan adikku, tidak mungkin dia juga harus sepertiku yang tak berpendidikan. Aku harus membuktikan kepada orang tuaku bahwa aku bisa. Aku bisa mencari uang untuk memenuhi kebutuhan orang tua dan adikku. Walaupun ayah tidak menyekolahkan aku tapi aku yang harus bisa menyekolahkan adikku. Aku bisa! Ya, aku harus bisa. Tuhan bantu aku”

….

Hari demi hari aku jalani dengan kerja keras dan ikhlas karena orang tua dan adikku, tidak jarang orang-orang memandangku dan keluargaku dengan sebalah mata. Mulai sekarang, aku bertekad aku tidak akan berhenti berjuang menghadapi lika-liku kehidupan ini, setidaknya untuk saat ini aku dan adikku tetap bisa melanjutkan hidup. Dan aku juga percaya, tidak ada satupun di dunia ini yang bisa di dapat dengan mudah. Kerja keras dan doa adalah cara untuk mempermudahnya.


(By:Sri Wahyuni)

0 komentar:

Pengunjung

Followers

Featured Posts

Popular Posts

like fanspage